Bayangan Sang Kakak
Langit sore meneteskan warna jingga ke dinding sekolah. Di depan papan pengumuman, kerumunan siswa berdesakan, mata berbinar menatap daftar nama juara umum semester ini.
Dan di barisan paling atas, terpampang nama yang tidak asing bagi siapa pun:
ARINDA PUTRI KUSUMA — JUARA UMUM SEKOLAH & JUARA I TAEKWONDO TINGKAT PROVINSI.
Tepuk tangan memenuhi aula. Semua orang menatap panggung.
Seorang siswi berambut panjang dengan seragam rapi naik dengan langkah percaya diri. Ia lebar tersenyum, membungkuk di depan kepala sekolah, lalu menerima piagam dengan tangan bergetar karena bahagia.
Cahaya sore menembus kaca jendela, menyorot wajahnya yang berkilau.
Dan di barisan belakang, seseorang menatap diam-diam — seorang gadis dengan seragam yang sama, tapi dengan senyum yang nyaris tak terlihat.
Namanya Aira.
Adik dari Arin
Setiap kali orang memanggil nama Arinda, kepala Aira otomatis menoleh, seolah namanya sendiri ikut terpanggil.
Namun setiap kali itu terjadi, yang terjadi bukanlah pujian untuk dirinya sendiri, melainkan perbandingan yang tak berujung.
“Kamu adiknya Arinda kan? Wah, kakakmu hebat banget.”
“Pasti kamu juga pinter ya kayak dia?”
“Sayang, nilainya belum seperti Kak Arinda ya?”
Kata-kata itu seperti jarum halus. Tidak menusuk keras, tapi lama-lama melukai.
Di rumah, di ruang tamu yang penuh piala, semua yang berkilau bukan miliknya.
Piala taekwondo, medali emas olimpiade, piagam dianugerahi, bahkan foto besar kakaknya terpajang di dinding — senyumnya membeku tapi tetap meneduhkan.
“Lihat, Nak,” kata Ibu sambil menata piala-piala itu. “Kalau kamu rajin kayak Kak Arinda, pasti kamu juga bisa seperti ini.”
Aira hanya mengangguk. Tidak berani membantah, tapi hatinya bergetar.
Ia sayang kakaknya. Sangat sayang. Tapi dibalik kasih itu, ada rasa lain yang dia akuinya: iri.
Arinda selalu menjadi bintang. Dan Aira? Ia merasa seperti bayangan di belakang cahaya.
---
Sore itu, Arinda baru pulang latihan taekwondo. Seragam putihnya basah oleh keringat, sabuk hitamnya melingkar di pinggang, dan langkahnya ringan seperti angin yang baru menang.
Aira duduk di sofa sambil membaca buku, tapi matanya sesekali melirik kakaknya.
“Kak, latihan lagi ya?” tanyanya pelan.
Arinda tersenyum. "Iya. Minggu depan mau ada uji kenaikan tingkat. Capek sih, tapi seru."
Ia lalu duduk di sebelah Aira, membuka botol air minum, meneguk pelan.
“Capek itu tanda kamu berjuang,” katanya sambil tersenyum.
Aira mengangguk pelan. Dalam hati, ada sesuatu yang bergolak: kagum, tapi juga keinginan kuat untuk diakui.
Malamnya, ketika semua tidur, Aira berdiri di depan cermin kamarnya.
Ia memandangi bayangannya sendiri, lalu berkata lirih,
“Kalau aku ikut taekwondo juga… apa aku bisa kayak Kak Arinda?”
Esoknya, tanpa banyak pikir, ia mendaftar ke tempat latihan yang sama.
Pelatih menyambutnya dengan hangat. “Oh, adiknya Arinda ya? Wah, pasti bakatnya sama.”
Aira hanya tertawa kecil. “Hehe, semoga begitu, Pak.”
Tapi di dalam dadanya, kata itu terasa berat — “adiknya Arinda.”
Ia ingin punya nama sendiri.a
Latihan pertama berjalan tidak mudah.
Tubuh Aira kaku, tendangannya meleset, langkahnya tidak seimbang.
Sementara di sudut ruangan, beberapa senior berbisik pelan.
“Dia numpang nama doang.”
“Pasti mau jadi kayak kakaknya.”
“Mana bisa, sabuk putih aja baru.”
Tawa kecil menyusul setelah bisikan itu.
Aira menggigit bibir, menahan air mata.
Ia mencoba fokus, tapi matanya mulai kabur. Tendangannya semakin lemah.
Pelatih berteriak, "Aira! Fokus! Ingat napasmu!"
Ia mengangguk, menendang lagi — tapi jatuh.
Ruangan itu sunyi senyap. Semua mata menatapnya.
Aira bangkit perlahan, menunduk, lalu berkata pelan, “Saya bisa, Pak.”
Pelatih hanya mengangguk, tapi di hatinya, rasa malu itu membakar.
Malamnya, Aira duduk di balkon.
Langit penuh bintang, tapi matanya berat menahan tangis.
Arinda muncul pelan-pelan, membawa dua gelas susu hangat.
“Latihan pertama memang selalu terasa kayak neraka,” katanya sambil duduk di sebelah Aira.
Aira terdiam.
“Aku capek, Kak. Mereka bilang aku numpang nama.”
Arinda menatap lama. "Terus, kamu latihan buat siapa? Buat mereka, atau buat dirimu sendiri?"
Pertanyaan itu menggantung lama.
Aira tidak langsung menjawab, tapi hatinya seperti menyentuh sesuatu yang baru.
Malam itu, ia belajar — bahwa bayangan hanya akan hilang jika kau berani berjalan ke arah cahaya.
---
Hari-hari berikutnya, Aira datang lebih awal.
Ia berlatih sebelum yang lain tiba, menendang udara, menghitung setiap gerakan.
Ketika teman-temannya datang, dia sudah basah oleh keringat.
Terkadang pelatih memuji, terkadang hanya diam. Tapi Aira terus bergerak.
Lututnya memar, tangan lecet, tapi ada bara di matanya.
Di rumah, Arinda melihatnya latihan di halaman belakang.
“Jangan lupa istirahat, Air,” katanya.
Aira menggeleng sambil tersenyum. “Kalau Kak Arinda bisa, aku juga bisa.”
Tapi Arinda hanya menatapnya, lalu berkata pelan,
"Aku tidak mau kamu jadi aku. Aku mau kamu jadi Aira."
Kalimat itu terngiang lama di kepala Aira — bahkan sampai ia tidur malam itu, dengan tubuh pegal tapi hati hangat.
---
Beberapa bulan kemudian, diumumkan pemilu taekwondo tingkat kota.
Semua murid antusias, termasuk Aira. Tapi begitu dia mendaftar, seorang senior berkata sinis,
"Yakin kamu bisa? Jangan sampai nanti disebut menang karena nama kakakmu."
Aira terdiam.
Malamnya, dia menangis di kamar. Bukan karena takut kalah, tapi karena takut tak pernah diakui.
Arinda mengetuk pintu, masuk tanpa bicara. Ia duduk di lantai, menatap adiknya yang menunduk.
"Kamu tahu, dulu saat aku ikut kejuaraan pertamaku, aku juga takut. Tapi aku sadar, orang boleh bicara apa saja. Yang tahu siapa aku hanya aku sendiri."
Aira menatap kakaknya. “Kalau aku kalah, Kak?”
Arinda tersenyum. “Kalah bukan akhir. Kadang, kalah itu cara Tuhan ngajarin kita bentuk yang lebih kuat.”
---
Aula besar itu penuh suara sorak. Lampu-lampu terang menyinari matras biru di tengah ruangan.
Aira berdiri di sana, mengenakan seragam putih bersih, sabuk kuning di pinggang.
Pelatih menampar bahunya. “Ingat latihanmu.Nikmati pertandingannya.”
Ia mengangguk, menarik napas dalam-dalam.
Ketika peluit berbunyi, dunia seolah berhenti.
Hanya ada suara napasnya sendiri dan detak jantung yang berdentum.
Lawan menyerang dengan cepat — Aira mundur, menangkis, lalu menendang balik.
Tendangannya kena. Poin pertama.
Penonton bersorak.
Di pinggir arena, Arinda berdiri, tersenyum dengan tangan terkepal memberi semangat.
Ronde demi ronde, Aira bergerak seperti udara. Ia tidak lagi mendengar transmisi, tidak lagi takut pada bayangan.
Ia hanya menari bersama keberaniannya.
Peluit terakhir berbunyi.
Skor akhir: Aira menang.
Ruangan meledak dalam sorak. Ia menunduk, menahan air mata yang menetes di pipinya.
Arinda berlari sambil memeluknya erat.
“Kau berhasil, Air,” katanya dengan suara bergetar.
Aira membalas pelukan itu. "Aku menang bukan karena Kak Arinda. Aku menang karena aku akhirnya tahu siapa aku."
---
Beberapa hari kemudian, nama Aira terpampang di mading sekolah.
Aira Putri Kusuma — Juara 1 Kejuaraan Taekwondo Tingkat Kota.
Teman-teman menampar bahunya, memujinya, bahkan guru-guru tersenyum bangga.
“Akhirnya si bayangan Arinda punya cahaya sendiri,” seseorang berbisik — tapi kali ini, Aira hanya tertawa.
Malam itu, ia dan Arinda duduk di balkon, menatap bintang-bintang.
“Dulu aku benci banget dipanggil 'adiknya Arinda,'” kata Aira pelan.
Arinda tersenyum. “Sekarang?”
"Sekarang aku nggak apa-apa. Karena aku tahu, jadi adik Arinda bukan berarti aku nggak punya cahaya sendiri. Aku cuma butuh waktu buat ketemu."
Arinda menatap adiknya dengan mata berkaca. “Aku bangga banget sama kamu.”
Aira tersenyum. “Aku juga, Kak.”
---
Piala kejuaraan kini berdiri di rak yang sama — di samping piala Arinda.
Namun kali ini, Aira tidak merasa kecil di hadapannya.
Ia tahu, setiap orang punya pencahayaan sendiri, dan ia baru saja menemukan langkah pertamanya.
Ia menatap sabuk kuningnya, lalu berbisik,
“Perjalananku masih panjang. Tapi setidaknya, aku sudah mulai berjalan.”
Di luar, langit malam memantulkan cahaya bulan di jendela kamar.
Bayangan Aira terlihat di lantai — tapi kali ini, bayangan itu tidak menakutkan.
Ia tersenyum. Karena untuk pertama kalinya, bayangan itu bergerak seirama dengan dirinya sendiri.
Dan di balik bayangan itu, ada cahaya yang akhirnya ia miliki sendiri.
~The End~
Comments
Post a Comment